Dahulunya ia bepergian dari kampung ke kampung untuk menyebarkan agama nasrani, sekarang ia juga bepergian (khuruj) dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dalam usaha dakwah dan tabligh.
Kali ini diriku benar-benar mengutip mentah-mentah salah satu kisah yang saya baca dari sebuah buku kumpulan kisah-kisah muallaf.
Mudah-mudahan kisah ini bisa menjadi penyemangat bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh dan malang melintang dalam perjuangan usaha dakwah dan tabligh ini. Dan mudah-mudahan kisah ini bisa membuat para pencela, pendengki, dan pemfitnah usaha dakwah dan tablgih ini untuk menahan lidahnya dan mengoreksi kembali kepahaman mereka, sehingga lebih bisa beradab dan tidak asal taqlid terhadap fatwa-fatwa ulama dan perkataan-perkataan asatidz mereka.
berikut kutipan kisahnya :
****
Mungkin kisah ini terasa aneh bagi mereka yang belum pernah bertemu dengan orangnya atau melihat langsung dan mendengar penuturannya. Kisah yang mungkin hanya terjadi dalam cerita fiktif, namun ini benar-benar menjadi kenyataan. Hal itu tergambar dengan kata-kata yang diucapkan oleh si pemilik kisah yang sedang duduk dihadapku mengisahkan tentang dirinya.
Untuk mengetahui kisahnya lebih lanjut dan mengetahui kejadian-kejadian yang menarik secara lengkap, biar aku menemanimu untuk bersama-sama menatap ke arah Johannesburg, kota bintang emas nan kaya di Negara Afrika selatan dimana aku pernah bertugas sebagai pimpinan cabang kantor Rabithah Al-‘Alam Al-Islami di sana.
Pada tahun 1996, disebuah Negara yang sedang mengalami musim dingin, di siang hari yang mendung, diiringi hembusan angin dingin yang menusuk tulang, aku menunggu seseorang yaag berjanji menemuiku. Istri sudah mempersiapkan santapan siang untuk menjamu sang tamu yang terhormat.
Orang yang aku tunggu dulunya adalah seorang yang mempunyai hubungan erat dengan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela. Ia seorang misionaris penyebar dan pendakwah agama nasrani. Ia seorang pendeta, namanya ‘sily’. Aku dapat bertemu dengannya melalui perantaraan sekretaris kantor Rabhitah yang bernama Abdul Khaliq Matir, dimana ia mengabarkan kepadaku bahwa seorang pendeta ingin datang ke kantor Rabhitah hendak membicarakan perkara penting.
Tepat pada waktu yang telah dijanjikan, pendeta tersebut datang bersama temannya yang bernama Sulaiman. Sulaiman adalah salah seorang anggota sasana tinju setelah memeluk islam, selepas bertanding dengan seorang petinju muslim terkenal, Muhammad Ali. Aku menyambut kedatangan mereka di kantorku dengan perasaan yang sangat gembira.
Sily seorang yang berpostur pendek, berkulit sangat hitam dan mudah tersenyum. Ia duduk di depanku dan berbicara dengan lemah lembut. Aku katakan, “Saudara Sily, boleh kami mendengar kisah keislamanmu?” ia tersenyum dan berkata, “Ya, tentu saja boleh.”
Pembaca yang mulia, dengar dan perhatikan apa yang telah ia ceritakan kepadaku, kemudian setelah itu, silakan beri penilaian!
Sily berkata,”Dulu aku seorang pendeta yang sangat militan. Aku berkhidmat untuk gereja dengan segala kesungguhan. Tidak hanya sampai disitu, aku juga salah seorang aktivis kristenisasi senior di Afrika Selatan. Karena aktivitasku yang besar, vatikan memilihku untuk menjalankan program kristenisasi yang mereka subsidi.
Aku mengambil dana vatikan yang sampai kepadaku untuk menjalankan program tersebut. Aku mempergunakan segala cara untuk mencapai targetku. Aku melakukan berbagai kunjungan rutin ke madrasah-madrasah, sekolah-sekolah yang terletak di kampung dan di daerah pedalaman. Aku memberikan dana tersebut dalam bentuk sumbangan, pemberian, sedekah dan hadiah agar dapat mencapai targetku yaitu memasukkan masyarakat ke dalam agama kristen. Gereja melimpahkan dana tersebut kepadaku sehingga aku menjadi seorang hartawan, mempunyai rumah mewah, mobil dan gaji yang tinggi. Posisiku melejit diantara pendeta-pendeta lainnya.
Pada suatu hari, aku pergi ke pusat pasar di kotaku untuk membeli beberapa hadiah. Di tempat itu bermula sebuah perubahan! Di pasar itu, aku bertemu dengan seseorang yang memakai kopiah. Ia pedagang berbagai hadiah. Waktu itu, aku mengenakan jubah pendeta berwarna putih yang merupakan ciri khas kami. Aku mulai menawarkan harga yang disebutkan si penjual. Dari sini, aku mengetahui bahwa ia seorang muslim. Kami menyebutkan agama Islam yang ada di Afrika Selatan dengan sebutan ‘agama orang arab’. Kami tidak menyebutnya dengan sebutan islam.
Aku pun membeli berbagai hadiah yang aku inginkan. Sulit bagi kami menjerat orang-orang yang lurus dan mereka yang konsisten dengan agamanya, sebagaimana yang telah berhasil kami tipu dan kami kirstenkan dari kalangan orang-orang Islam yang miskin di Afrika Selatan. Si penjual muslim itu bertanya kepadaku, “Bukankah anda seorang pendeta?” Aku jawab, “Benar”. Lantas ia bertanya kepadaku, “Siapa Tuhanmu?” Aku katakana, “Al-Masih”. Ia kembali berkata, “Aku menantangmu, coba datangkan satu ayat di dalam injil yang menyebutkan bahwa Al-Masih berkata, ‘Aku adalah Allah atau aku anak Allah. Maka sembahlah aku’.
Ucapan muslim tersebut bagaikan petir yang menyambar kepalaku. Aku tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Aku berusaha membuka-buka kembali catatanku dan mencarinya di dalam kitab-kitab injil dan kitab kristen lainnya untuk menemukan jawaban yang jelas terhadap pertanyaaan lelaki tersebut. Namun, aku tidak menemukannya. Tidak ada satu ayat pun yang menceritakan bahwa Al-Masih berkata bahwa ia adalah Allah atau anak Allah.
Lelaki itu telah menjatuhkan mentalku dan menyulitkanku. Aku ditimpa sebuah bencana yang membuat dadaku sempit. Bagaimana mungkin pertanyaan seperti ini tidak pernah terlintas olehku? Lalu aku tinggalkan lelaki itu sambil menundukkan wajah. Ketika itu, aku sadar bahwa aku telah berjalan jauh tanpa arah. Aku terus berusaha mencari ayat-ayat seperti ini, walau bagaimana pun rumitnya. Namun, aku tetap tidak mampu, aku telah kalah.
Aku pergi ke Dewan Gereja dan meminta kepada para anggota dewan agar berkumpul. Mereka menyepakatinya. Pada pertemuan tersebut aku mengabarkan kepada mereka tentang apa yang telah aku dengar. Tetapi mereka malah menyerangku dengan ucapan, “Kamu telah ditipu orang arab. Ia hanya ingin menyesatkanku dan memasukkan kau kedalam agama orang arab.” Aku katakan, “Kalau begitu, coba beri jawabannya!” mereka membantah pertanyaan seperti itu, namun tak seorang pun yang mampu memberikan jawaban.
Pada hari minggu, aku harus memberikan pidata dan pelajaranku di gereja. Aku berdiri di depan orang banyak untuk memberikan wejangan. Namun, aku tidak sanggup melakukannya. Sementara para hadirin merasa aneh, karena aku berdiri dihadapan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku kembali masuk ke dalam gereja dan meminta kepada temanku agar ia menggantikan tempatku. Aku katakan bahwa aku sedang sakit, padahal jiwaku hancur luluh.
Aku pulang ke rumah dalam keadaan bingung dan cemas. Lalu aku masuk dan duduk di sebuah ruang kecil. Sambil menangis, aku menengadahkan pandanganku ke langit seraya berdoa. Namun, kepada siapa aku berdoa. Kemudian aku berdoa kepada Dzat yang aku yakini bahwa Dia adalah Allah Sang Maha Pencipta, “Ya Tuhanku… wahai Dzat yang telah menciptakanku… sungguh, telah tertutup semua pintu dihadapanku kecuali pintu-Mu… Janganlah Engkau halangi aku mengetahui kebenaran… Manakah yang hak dan di manakah kebenaran? Ya Tuhanku… Jangan Engkau biarkan aku dalam kebimbangan… Tunjukkan kepadaku jalan yang hak dan bimbing aku kejalan yang benar.” Lantas aku pun tertidur.
Didalam tidur, aku melihat diriku sedang berada di sebuah ruangan yang sangat luas. Tidak ada seorang pun didalamnya kecuali diriku. Tiba-tiba di tengah ruang tersebut muncul seorang lelaki.
Wajah orang itu tidak begitu jelas karena kilauan cahaya yang terpancar darinya dan dari sekelilingnya. Namun, aku yakin bahwa cahaya tersebut muncul dari orang tersebut. Lelaki itu member isyarat kepadaku dan memanggil, “Wahai Ibrahim!”. Aku menoleh ingin mengetahui siapa Ibrahim, namun aku tidak menjumpai siapa pun di ruangan itu.
Lelaki itu berkata, “Kamu Ibrahim, kamulah yang bernama Ibrahim. Bukankah engkau yang memohon petunjuk kepada Allah?” Aku jawab, “Benar”. Ia berkata, “Lihatlah ke sebelah kananmu!” maka aku pun menoleh ke kanan dan ternyata di sana ada sekelompok orang yang sedang memanggul barang-barang mereka dengan mengenakan pakaian putih dan bersorban putih. Ikutilah mereka agar engkau mengetahui kebenaran!” lanjut lelaki itu.
Kemudian aku terbangun dari tidurku. Aku merasa sebuh kegembiraan menyelimutiku. Namun, aku belum juga memperoleh ketenangan ketika muncul pertanyaan, dimana gerangan sekelompok orang yang aku lihat di dalam mimpiku itu berada.
Aku bertekad untuk melanjutkannya dengan berkelana mencari sebuah kebenaran. Sebagaimana cirri-ciri yang telah diisyaratkan dalam mimpiku. Aku yakin isi semua merupakan petunjuk dari Allah swt.. kemudian aku minta cuti kerja dan mulai melakukan perjalanan panjang yang memaksaku untuk berkeliling di beberapa kota mencari dan bertanya di mana orang-orang yang memakai pakaian dan sorban putih berada.
Telah panjang perjalanan dan pencarianku. Setiap aku menjumpai kaum muslimin, mereka hanya memakai celana panjang dan kopiah. Hingga akhirnya aku sampai di kota Johannesburg.
Disana, aku mendatangi kantor penerima tamu milik Lembaga Muslim Afrika. Di rumah itu, aku bertanya kepada pegawai penerima tamu tentang jemaah tersebut. Namun ia mengira bahwa aku seorang peminta-minta dan memberikan sejumlah uang. Aku katakan, “Bukan ini yang aku minta. Bukankah kalian mempuyai tempat ibadah yang dekat dari sini? Tolong tunjukkan mesjid yang terdekat.” Lalu aku mengikuti arahannya dan aku terkejut ketika melihat seorang lelaki berpakaian dan bersorban putih sedang berdiri di depan pintu.
Aku sangat girang, karena ciri-cirinya sama persis yang aku lihat dalam mimpi. Dengan hati yang berbunga-bunga, aku mendekati orang tersebut. Sebelum aku mengatakan sepatah kata, ia terlebih dahulu berkata, “Selamat datang, ya Ibrahim!” Aku terperanjat mendengarnya.
Ia mengetahui namaku sebelum aku memperkenalkannya. Lantas ia melajutkan ucapannya, “AKu melihatmu di dalam mimpi bahwa engkau sedang mencari-cari kami. Engkau hendak mencari kebenaran? Kebenaran ada pada agama yang diridhai Allah untuk hamba-Nya, yaitu Islam.” Aku katakan, “Benar, aku sedang mencari kebenaran yang telah ditunjukkan oleh lelaki bercahaya dalam mimpiku, agar aku mengikuti sekelompok orang yang berpakaian seperti yang engkau kenakan. Tahukah kamu siapa lelaki yang aku lihat dalam mimpiku itu?” Ia menjawab, “Dia adalah Nabi kami, Muhammad, Nabi agama Islam yang benar, Rasulullah saw..” Sulit bagiku untuk mempercayai apa yang terjadi pada diriku. Namun, langsung saja aku peluk dia dan aku katakan kepadanya, “Benarkan lelaki itu Rasul dan Nabi kalian yang datang menunjukiku agama yang benar?” Ia berkata, “Benar.”
Ia lalu menyambut kedatanganku dan memberikan ucapan selamat karena Allah swt telah memberiku hidayah kebenaran. Kemudian datang waktu sholat Zhuhur. Ia mempersilakanku duduk di tempat paling belakang dalam mesjid dan ia pergi untuk melaksanakan shalat bersama jamaah yang lain.
Aku memperhatikan kaum muslimin banyak memakai pakaian seperti yang dipakainya. Aku melihat mereka ruku’ dan sujud kepada Allah. Aku berkata dalam hati, “Demi Allah, inilah agama yang benar. Aku telah membaca dalam berbagai kitab bahwa para Nabi dan Rasul meletakkan dahinya di atas tanah untuk sujud kepada Allah.” Setelah mereka shalat, jiwaku mulai terasa tenang dengan fenomena yang aku lihat.
Aku berucap dalam hati, “Demi Allah, sesungguhnya Allah swt telah menunjukkan kepadaku agama yang benar.”. Seorang muslim memanggilku agar aku mengumumkan keislamanku. Lalu aku mengucapkan dua kalimat syahadat dan aku menangis sejadi-jadinya karena gembira telah mendapat hidayah dari Allah swt..
Kemudian aku tinggal bersamanya untuk mempelajari Islam dan aku pergi bersama mereka untuk melakukan safari dakwah dalam waktu cukup lama. Mereka mengunjungi semua tempat, mengajak manusia kepada agama islam. Aku sangat gembira ikut bersama mereka. Aku dapat belajar shalat, puasa, tahajjud, doa, kejujuran dan amanah dari mereka. Aku juga belajar dari mereka bahwa seorang muslim diperintahkan untuk menyampaikan agama Allah dan bagaimana menjadi seorang muslim yang mengajak kepada jalan Allah serta berdakwah dengan hikmah, sabar, tenang, rela berkorban dan berwajah ceria.
Setelah beberapa bulan kemudian, aku kembali ke kotaku. Ternyata keluargaku dan teman-temanku sedang mencariku. Namun, ketika melihat ku kembali memakai pakaian Islami, mereka mengingkarinya dan dewan gereja meminta kepadaku agar diadakan sidang darurat. Pada pertemuan itu mereka mencelaku karena aku telah meninggalkan agama keluarga dan nenek moyang kami. Mereka berkata kepadaku, “Sungguh, kamu telah tersesat dan tertipu dengan agama orang arab.”
Aku katakan, “Tidak ada seorang pun yang telah menipu dan menyesatkanku. Sesungguhnya Rasulullah saw. datang kepadaku dalam mimpi untuk menunjukkan kebenaran dan agama yang benar yaitu agama Islam. Bukan agama orang arab sebagaimana yang kalian katakan. Aku mengajak kalian kepada jalan yang benar dan memeluk Islam.” Mereka semua terdiam.
Kemudian mereka mencoba cara lain, yaitu membujukku dengan memberikan harta, kekuasaan dan pangkat. Mereka berkata, “Sesungguhnya vatikan memintamu untuk tinggal bersama mereka selama enam bulan untuk menyerahkan uang panjar pembelian rumah dan mobil baru untukmu serta memberimu kenaikan gaji dan pangkat tertinggi di gereja.”
Semua tawaran tersebut aku tolak dan aku katakan kepada mereka, “Apakah kalian akan menyesatkanku setelah Allah memberiku hidayah? Demi Allah, aku takkan pernah melakukannya walaupun kalian memenggal leherku.” Kemudian aku menasehati mereka dan kembali mengajak mereka ke agama Islam. Maka masuk Islamlah dua orang dari kalangan pendeta.
Alhamdulillah, setelah meihat tekadku tersebut, mereka menarik semua derajat dan pangkatku. Aku merasa senang dengan itu semua, bahkan tadinya aku ingin agar penarikan itu segera dilakukan. Kemudian aku mengembalikan semua harta dan tugasku kepada mereka, dan aku pun pergi meninggalkan mereka,” Sily mengakhiri kisahnya.
Kisah masuk Islamnya Ibrahim Sily yang ia ceritakan sendiri kepadaku di kantorku, disaksikan oleh Abdul Khaliq sekretaris kantor Rabithah Afrika dan dua orang lainnya. Pendeta Sily berasal dari kabilah Kuza Afrika Selatan. Aku mengundang pendeta Ibrahim-maaf-Da’I Ibrahim Sily makan siang di rumahku dan aku laksanakan apa yang diwajibkan dalam agamaku yaitu memuliakannya, kemudian ia pun pamit.
Setelah pertemuan itu, aku pergi ke Mekkah Al-Mukarramah untuk melaksanakan suatu tugas. Waktu itu kami mendekati persiapan seminar Ilmu Syar’I yang akan diadakan di kota Cape Town. Lalu aku kembali ke Afrika Selatan tepatnya di kota Cape Town.
Ketika aku berada di kantor yang telah disiapkan untuk kami di Ma’had Arqam, Da’I Ibrahim Sily mendatangiku. Aku langsung mengenalnya dan aku ucapkan salam untuknya dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan disini, wahai Ibrahim?” Ia menjawab, “Aku sedang mengunjungi tempat-tempat di Afrika Selatan untuk berdakwah kepada Allah swt.. Aku ingin mengeluarkan masyarakat negeriku dari api neraka, mengeluarkan mereka dari jalan yang gelap ke jalan yang terang dengan memasukkan mereka ke dalam agama Islam.”
Setelah Ibrahim selesai mengisahkan kepada kami bahwa perhatiannya sekarang hanya tertumpah untuk dakwah kepada agama Allah swt., ia meninggalkan kami menuju suatu daerah, medan dakwah yang penuh dengan pengorbanan di jalan Allah swt..
Aku perhatikan wajahnya berubah dan pakainnya bersinar. Aku heran ia tidak meminta bantuan dan tidak menjulurkan tangannya meminta sumbangan. Aku merasa ada yang mengalir di pipiku yang membangkitkan perasaan aneh. Perasaan ini seakan-akan berbicara kepadaku, “Kalian manusia yang mempermainkan dakwah, tidakkah kalian perhatikan para mujahid di jalan Allah!”
Benar wahai saudaraku. Kami telah tertinggal, kami berjalan lamban. Kami telah tertipu dengan kehidupan dunia, sementara orang-orang yang seperti Da’I Ibrahim Sily, Da’I berbangsa Spanyol Ahmad Sa’id berkorban, berjihad dan bertempur demi menyampaikan agama ini. Ya Rabb, rahmatilah kami.
***
Di kutip dari buku Gema Syahadat di negeri Paman Sam ( kisah-kisah muallaf yang menerima kebenaran islam).
Kisah ke lima belas dengan judul "MIMPI BERTEMU RASUL (kisah Ibrahim sily)".
Penerbit Citra Risalah Cetakan I, Safar 1430H/Februari 2009.