Thursday, November 19, 2009

Andai Saja ...

13.00 WIB, Rektorat ITS
Siang itu aku masih berkutat dengan berkas beasiswa yang deadline-nya adalah tanggal 1 Desember besok (ughhhhh, selalu mendadak begini ya!) lalu teringat bahwa pukul 14.30 aku harus bertemu dengan Bapak itu di terminal kota.

14.12 WIB, A Yani menuju terminal
Akupun menelponnya

"sudah sampai?" tanyaku

"alhamdulillah sudah", begitu jawabnya diseberang sana

"sebentar Pak, 10 menit lagi, saya masih di Jalan A Yani"

14.22 WIB, Terminal Kota
Aku melihatnya ada diujung gang menuju musholah dalam gedung ruang tunggu penumpang, aku tersenyum padanya dan mengambil punggung tangannya untuk kucium. Lalu, mulailah aku berbasa-basi bertanya tentang keadaannya

"bagaimana hari ini Pak, baik..?" begitu tanyaku

"alhamdulillah..." jawabnya singkat

Hmmm, aku merasa ada beban berat sedang menghimpit pundaknya, beban yang ingin segera dilepaskannya. Ya ALLAH, bisakah aku membantunya? Hanya dengan qudratMu saja aku bisa!

"sholat ashar dulu ya Pak!" tawarku

"boleh, tapi jangan jauh-jauh, dekat-dekat sini saja" pintanya

"lho, kita nggak jadi ke Gresik nih?" tanyaku sedikit keheranan

"nggak, ahad nanti orangnya mau ke rumah" jelasnya padaku

Aku hanya mantuk-mantuk tanda mengerti, emm... lalu apa agendanya hari ini kalau tidak jadi ke Gresik? begitu pikir di dalam benakku

14.35 WIB, Masjid Al Akbar
Mobilku masuk ke dalam komplek masjid terbesar di Asia Tenggara, hemmm... walau sudah berkali-kali ke masjid ini, masih saja bingung dengan pintu masuknya. Setelah turun dari mobil lalu aku menunjukkan tempat wudhu padanya

"wudhunya di bawah sana..." sambil telunjukku menunjuk arah basement masjid

"emm, saya sudah sholat tadi di terminal" jawabnya

"oh, sudah ya... sudah dijamak tadi ya, ok deh.. tunggu sebentar di sini ya Pak, saya segera kembali" jelasku padanya

14.55 WIB, Ruang Tunggu, Basement Masjid
Aku memberinya dua gantungan kunci bergambar masjid Al Akbar sebagai cindera mata khas masjid ini, lalu diterima dengan wajah sedikit tersenyum. Lalu selang beberapa saat mulailah dia bercerita tentang beban yang aku rasakan saat menjumpainya di terminal.

...(cerita ini, itu dan panjang lebar, tentang hutangnya dan beban bunga pokok yang kian hari kian menumpuk, hmmff OMG)...

Setelah selesai, akupun membuka kata

"andai saja saya mendengar cerita ini tahun lalu" kalimatku tertunda

"lho, memangnya kenapa?" tanyanya seraya bingung mendengar kalimatku

"hari ini, saya hanya seorang staf pengajar di perguruan tinggi saja, tidak lebih. Dalam sebulan penghasilan saya 3 juta sedangkan pengeluaran saya 6 juta, tapi setelah mendengar cerita Bapak barusan, ingin rasanya berbuat lebih, tapi bagaimana bisa!" jelasku sederhana

Sebelum dia menanggapi kalimatku, aku menambahkannya lagi dengan kalimat senada

"saya sudah bosan dengan konsultan, rasanya iman saya tercabut jika tetap berkutat di dunia konsultan, padahal mensekutukan ALLAH adalah dosa yang tidak terampunkan. Saat masih sibuk di konsultan, mana pernah aku merasa kekurangan, karenanya aku merasa tidak patut, ada perasaan bahwa yang memberi rizki adalah kantor dan sungguh aku termasuk pemilik iman yang lemah, karenanya aku merasa malu untuk mensekutukanNya" jelasku lagi

"jadi, bagaimana? ada solusi lain?" tanyanya

Aku sempat melirik mobilku, karena dia saja 'fresh money'-ku saat ini, aku seakan melihat Nobel (sebutan untuk mobil kelabu, si imut lucuku) sedang memandangku begitu melas, aku hanya tersenyum pada pandangan matanya (ahak, imajinatif banget yah aku). Kemudian aku coba menjawab tanyanya lagi...

"hmmm, coba nanti saya pikirkan dulu, nanti akan saya coba mengkomunikasikan dengan teman-teman saya yang mungkin mau membantu" kataku singkat

"terima kasih, mudah-mudahan diberi jalan!"

"iya, mudah-mudahan diberi jalan"

Kamipun diam.. diam yang lama, aku mau bicara apa? Aku sungguh kehabisan bahan bicara, mulut diam terkunci. Ah, andai saja aku mendengar cerita ini tahun lalu. Kemudia dia mulai berkemas, akupun bertanya padanya

"Kita kembali ke terminal?" tanyaku

"Iya, karena memang agenda saya hari ini adalah menemui anda saja" begitu jawabnya yang membuat hati ini rasanya tersayat-sayat kembali

15.05 WIB, Perjalanan menuju terminal
Aku telah habis kata, aduuuhh... bingung tau, bagaimana caranya aku bisa menolongnya. Dalam perjalanan menuju terminal, kalimat itu saja yang selalu aku ucapkan, hanya kalimat itu, "andai aku mendengar cerita ini tahun lalu"

15.25 WIB, Terminal Kota
Si Nobel sudah masuk areal parkir dan kamipun berpisah

"mari, saya pulang dulu" katanya

"Iya Pak, hati-hati di jalan" ujarku singkat

Aku mengambil punggung tangannya dan menciumnya, lalu hanya bisa melihat sekilas punggungnya di samping si Nobel yang masih cemberut (Ahak, Nobel...! Mau nangis ya cayang, cup cup... sudah ya, jangan nangis)...

Terlintas beberapa deret kata yang berbeda, "andai saja dia ayahku"... Ah, andai saja dia ayahku, aku bahkan sanggup memberi separuh nyawaku untuknya. Andai saja dia ayahku, apa saja layak aku korbankan untuknya, bukan hanya 'Nobel', nyawa sekalipun akan aku berikan. Tapi bagaimana mungkin? Aku baru mengenalnya 2 hari, walaupun dia adalah ayah dari 'seseorang', tetapi sebagai mantan pengusaha, aku sudah terlalu sering jatuh bangun karena ditipu oleh rekan bisnis. Aku bukan menuduhnya hendak menipuku, tidak sama sekali... tapi yang aku baca adalah, dia ditipu oleh seseorang dengan kedok perjuangan agama. Hmmmm, aku menghela nafasku... tanpa terasa mataku mengeluarkan air dari ujungnya, seraya berkata, "Ya ALLAH, beri aku jalan, aku bisa apa hari ini? tapi mau meminta padaMu, aku juga tidak bisa...".

Ah, andai saja dia ayahku... akupun memacu kencang si Nobel menuju pintu tol, segera pulang ke rumah, untuk kembali bermain dengan Umair, si jagoan tampanku yang sedang dalam masa pemulihan dari demam tingginya 2 hari lalu.

Ah, andai saja dia ayahku...

No comments:

Post a Comment

Ingin berkomentar? cerita yang baik-baik saja, karena DIA suka dengan hal yang baik-baik. Siapa yang membuka aib, maka di akherat ALLAH akan membuka aibnya ...