Sunday, August 31, 2008

Hari Eksekusi

H - 2 (Hari Eksekusi)

Hari ketiga aku menjadi raja, Jin negeri kembali menemuiku dan menanyakan permintaan ketiga dan juga terakhir, lalu aku berkata, ”bisakah aku memintanya besok, hari ini aku punya agenda kerajaan yang sangat penting”. Dengan sedikit negosiasi, akhirnya Jin negeripun bersetuju dan berjanji akan kembali esok hari.

Aku sudah berada singgahsanaku yang aku letakkan di depan lapangan upacara kerajaan, aku mengamati semua tertuduh korupsi dari kalangan pejabat tinggi kerajaan yang kembali untuk mengantarkan nyawanya. Aku menyampaikan pengumuman penting, ”adakah diantara pejabat kerajaan yang belum berkumpul?”, semua hening, senyap ... ”hari ini, aku ingin bertanya pada kalian semua, apakah kalian masih meminta ampunan dariku?”, dengan serta merta, mereka semua menangis, melolong, merengek, ”ampuni kami wahai paduka raja, ampuni kami”, tangis mereka disambut iring-iringan tangis sanak keluarga yang ikut menyaksikan prosesi ini. Istri, anak, keponakan, saudara lelaki, ayah, ibu, semua sanak keluarga mereka minta diampuni ...

Hmmmm, aku menghela nafas, aku memanggil menteri urusan pertanian dan peternakan untuk maju ke hadapan, ”apa yang kamu lakukan sehingga kalangan pemberantas korupsi memasukkanmu ke dalam daftar koruptor?”. Dengan terbata, menteri urusan pertanian berkata, ”aku membeli bibit tanaman dari negara tetangga, dan menjualnya dengan harga pantas kepada rakyat, aku juga membeli bahan baku pembuat pupuk dan aku jual pupuk itu kepada rakyat, juga dengan harga yang pantas, semua dan semua aku lakukan untuk kepentingan rakyat”. Aku terdiam sesaat, lalu aku minta seorang demonstran yang masih saja berdemo di gerbang istana dari kalangan petani dan peternak untuk berdiri di sampingku.

Seorang dari kalangan petani datang dengan hasil pertaniannya, dan seorang peternak juga datang dengan beberapa ternaknya yang kurus, aku bertanya pada petani, ”berapa harga bibit yang kamu beli dan berapa pula harga pupuk untuk menyuburkan pertanianmu”. Kemudian, petani tersebut mengeluarkan sumpas serapahnya, ”raja sialan, kami mana mampu membeli bibit tanaman yang baik dari kerajaan, harganya tinggi sampai ke langit, apalagi beli pupuk ... hey raja, apa kamu tidak tahu kalau kami sudah lama meninggalkan bertani, ini aku bawakan oleh-oleh dari hasil pertanianku, cium baunya, baunya busuk sebusuk hatimu yang membiarkan kami menderita ...” ... braaaak, sayur mayur busuk dilemparkan ke arahku, dan disambut dengan kokang senjata paspamra, tapi aku mengangkat tangan kiriku sebagai isyarat agar mereka memendam amarahnya.

Hatiku terenyuh, lalu aku bertanya pada peternak, ”apa kabar ternakmu”. Peternak ini tidak kalah lantang dengan petani, ”raja, matamu buta ... lihat ternakku yang kurus ini, kau pasti tidak akan peduli jika aku ceritakan bahwa anak-anakku kurus kering, lebih kurus dari tenak yang aku bawa, bagaimana bisa kamu masih berdiri sebagai raja, sedangkan rakyatmu sekarat meregang nyawa.. cuiiihhhh”. Peternak itu meludahi wajahku, ah ... inilah aku, raja lembek dan payah, dan kali ini paspamra telah habis sabarnya, dengan sekali pukul peternak tadi tersungkur mencium tanah karena seorang paspamra melayangkan bogemnya. Aku meradang, ”hey, apa yang kamu lakukan, aku mencintai rakyatku lebih dari aku mencintai diriku sendiri, paspamra kurang ajar ...”. Aku menarik kerah bajunya dan merebut senjata genggam dari pinggangnya, aku menodongkan senjata itu di pelipis paspamra tersebut, tapi ujung mataku melihat perdana menteri sedang tertunduk sedih, aku bisa melihat sesekali perdana menteri menitikkan air mata dan menghapus tiap tetesnya dengan punggung tangannya.

Hatiku mulai mencair, aku lepaskan cengkram di kerah baju paspamra, tapi aku tetap mengokang senjata genggam di tanganku, aku arahkan ke wajah menteri urusan pertanian dan peternakan dan menempelkan moncongnya di kening menteri, kemudian dengan mengiba, menteri pertanian dan peternakan merengek, ”ampuni aku raja, ampuni aku paduka, hamba hanya mengikuti sistem saja, semua pejabat melakukannya”. Aku membalas rengeknya, ”minta ampunlah pada rakyat yang kelaparan, minta ampun pada peternak yang keluarganya kurus kering”.

Lalu menteri pertanian dan peternakan memeluk kaki petani dan peternak secara bergantian, sambil terus melanjutkan tangisnya, aku memberikan pistol yang telah aku kokang pada peternak yang tadi dipukul oleh paspamra, dengan sedikit ragu si peternak tadi menerima pistol tersebut dan mengarahkan moncongnya, bukan ke arah paspamra yang telah memukulnya, bukan ke arah menteri pertanian dan peternakan, tapi ke arahku.

Tingkah peternak disambut dengan ribuan kokang senjata para militer yang berada di lapangan upacara, tapi selang beberapa detik ... DOOOOR... DOOOOR... DOOOOR... DOOOOR... DOOOOR... DOOOOR... DOOOOR... DOOOOR... DOOOOR... DOOOOR... klik... klik... klik... pertanda isi magazine telah kosong, karena pelurunya telah bersarang di dalam kepala menteri pertanian dan peternakan. Sepuluh kali peluru panas menembus kepala menteri pertanian dan peternakan dan aku sedikit heran, hanya sepuluh kali, bukankah isi magazine seharusnya dua belas atau lima belas, kenapa hanya sepuluh.

Aku berkata lantang, ”mana menteri pertahanan urusan peralatan perang? maju ke hadapanku”. Kemudian maju ke hadapanku seorang dengan badan cukup tegap, tapi sepertinya telah berumur, lalu aku bertanya padanya, ”kenapa isi magazine di dalam pistol genggam paspamra hanya sepuluh butir peluru, kemana perginya peluru lainnya?”. Dengan tegas, menteri pertahanan urusan peralatan perang berkata, “karena biaya pembelian dan atau pembuatan dua peluru lainnya saya pakai untuk meningkatkan kesejahteraan personil di jajaran kementrian pertahanan”. Hmmm, aku menghela nafas cukup lama, apakah gaji mereka masih kurang, “apa lagi yang kamu lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan personil di kementrian pertahanan?”, lalu menteri menjawab, “untuk pengadaan kendaraan perang, aku sengaja menaikkan harganya, sehingga selisihnya dapat aku simpan di dalam kas kementrian pertahanan, dan banyak lagi, semua sejenis dan seperti itu. Hal ini telah kami lakukan sejak lama paduka, sudah sejak lama”.

Kali ini, kesabaranku telah habis, aku perintahkan semua para militer yang telah siap dengan senjata terhunus untuk membantai semua menteri, pejabat tinggi, dan staf ahli mereka, semua di hukum mati dengan sekali perintah, “bunuh mereka semua, dan pastikan mereka benar-benar mati”. Hening beberapa saat, lalu berubah menjadi hingar bingar, berondong senjata, pistol, senjata otomatis, bahkan belati, semua digunakan oleh para militer untuk mengeksekusi para pejabat tinggi kerajaan tanpa terkecuali.

Hanya lima menit, lapangan upacara kerajaan telah berubah menjadi kubangan darah, sesekali masih saja aku mendengar muntahan peluru dari pistol paspamra dan para militer yang mendatangi tiap tubuh, memastikan mereka benar-benar tewas dengan muntahan peluru ke arah jantung dan kepala para menteri yang telah terkapar bersimbah darah.

Mataku tertuju pada perdana menteri yang sedari tadi diam membisu, kali ini perdana menteri bersimpuh sambil menutup wajahnya, seakan tidak percaya bahwa telah terjadi pembantaian atas semua pejabat tinggi negara yang masuk ke dalam daftar orang yang merugikan kerajaan dengan korupsi.

Jendral petinggi militer datang menghampiriku, dan berkata, ”apa yang harus aku lakukan dengan pejabat kerajaan di kampung, village, distrik dan negara bagian, apakah dieksekusi juga?”. Kali ini aku meminta pendapat dari perdana menteri, “bagaimana pendapatmu, wahai perdana menteri yang bijak”, dengan sisa isak tangisnya, perdana menteri berkata, “jangan ada lagi eksekusi, beri mereka surat peringatan, kirim mereka peti mati, tulis di atasnya, jika mereka korupsi, mengambil hak rakyat, dan menipu masyarakat, mereka juga akan menemui ajal seperti pejabat tinggi kerajaan saat ini, tidak ada peringatan kedua, sekali saja mereka korupsi walau hanya mengambil satu lembar kertas dari gudang perbendaharaan kekayaan kerajaan tanpa alasan yang jelas tentang kegunaannya, bunuh mereka, buang mayatnya ke laut, karena aku tidak sudi kerajaan ini ditumpahi darah kotor para koruptor, karena hanya darah pejuang kerajaan saja yang layak tertumpah di atas kerajaan ini, kerajaan tumpah darahku, kerajaan ibu pertiwi”.

Sungguh mengagumkan, aku terlalu menggebu dan gegabah dalam memutuskan hukuman pada para pejabat tinggi kerajaan, tidak seperti perdana menteri yang selalu bisa berkata bijak. Ah, mau bagaimana lagi, menjadi raja memang permintaan sesaatku ... sekarang, semua telah terjadi, apa yang bisa aku lakukan ...

bersambung

No comments:

Post a Comment

Ingin berkomentar? cerita yang baik-baik saja, karena DIA suka dengan hal yang baik-baik. Siapa yang membuka aib, maka di akherat ALLAH akan membuka aibnya ...