H - 4 (Interogasi & Eksekusi)
Aku sungguh bingung dengan mental para pejabat di kerajaanku, ratusan orang dari kalangan pejabat tinggi dan abdi negeri, hanya 3 yang merasa bersalah dan rela di hukum mati atas kesalahannya, sedangkan lainnya … mental tempe, pengecut, bajingan tengik.
Aku coba tenangkan amarahku, lalu aku perintahkan orang pertama dari ketiga pejabat yang rela dihukum mati tersebut untuk maju ke hadapanku dan aku mulai menanyainya, “hey kamu … apa jabatanmu?”. Lalu orang tersebut berkata, “aku menteri keamanan dan stabilitas nasional”. Aku melihat perawakannya yang tinggi besar, dan sepertinya tak kenal takut, heeeeh … pantas saja tidak takut mati, mungkin dari kalangan militer. Aku membentaknya, “apa saja yang kamu lakukan untuk kerajaan ini dengan jabatanmu”, lalu dia menjawab, “semua aku lakukan agar negeri ini aman dan stabil tanpa gejolak”. Aku geram dengan jawabannya, “apa maksudmu dengan semua kamu lakukan”. Lalu, “ya, semuanya … menyiksa, membunuh, intimidasi, menculik, semuanya … asalkan negeri ini aman dan stabil”. Aku coba untuk sabar dan tidak menambah amarahku, aku mengepalkan tanganku lalu … buuuk, dengan sekuat tenaga aku memukul dadanya, tapi dia tidak bergeming dari posisinya. Aku mengambil jarak sekitar 5 meter darinya lalu aku menendangnya dengan kaki lurus dan penuh hentakkan, tepat di ulu hatinya, tapi sayang dia hanya meringis walau terlihat sedikit kesakitan. Aku cukup kelelahan walau hanya melakukan dua serangan, lalu aku kembali bertanya, “bagaimana, apa sakit saat aku pukul … bagaimana rasanya saat aku tendang ulu hatimu?”. Dia diam sesaat, kemudian menjawab dengan kalimat yang meninggikan martabatku sebagi raja, “untuk kemajuan kerajaan ini, akan aku singkirkan semua penghalang, orang yang tidak ingin tanahnya dibebaskan dengan harga tinggi akan aku bunuh, PKL yang tidak mau ditertibkan akan aku bantai, begitu juga penebang hutan tanpa izin akan aku penggal kepalanya. Apa ruginya kerajaan ini jika hanya kehilangan orang-orang serakah yang menghalangi majunya negeri ini. Raja mungkin lupa, rakyat kita sulit diatur, atas nama hak demokrasi, mereka tidak takut pada kerajaan”.
Hemmm, orang ini cukup idealis, tapi sayang ... cara dia menstabilkan kerajaan dengan kekerasan, apakah benar rakyatku tidak bisa diatur. Aku berjalan ke arah kerumunan rakyat yang sedang berdemonstrasi di depan pagar istana kerajaan, langkahku dihalangi oleh perdana menteri sambil berkata, ”tuanku raja jangan ke sana, rakyat sangat membenci tuanku”. Aku melotot, bagaimana bisa rakyatku membenci rajanya ... aku sangat mencintai rakyatku, ah .. harus verifikasi, lalu ... crooot, telur busuk pecah di kepalaku, seorang demonstran melempar aku dengan telur busuk. Aku mencari arah pelempar telur ini, belum sempat aku mendapatkannya, telah mendarat tomat, kentang, lobak, wortel, semua hasil pertanian rakyat kecil yang telah membusuk dilemparkan ke arahku. Aku hanya diam, membiarkan mereka menumpahkan amarahnya.
Beribu pasukan anti huru hara datang, dua unit panser water canon menyemprotkan air dengan deras ke arah rakyat yang sedang berdemonstrasi di luar gerbang istana. Aku terhenyak, aku murka dan berlari ke arah panser penyemprot air, ”hey kamu, keluar dari kendaraan ini, siapa yang perintahkan kamu melakukannya?”. Kemudian seorang pemuda dengan seragam muliter keluar dengan wajah ketakutan, lalu dia berkata, ”aku ingin membubarkan demonstrasi”. Aku semakin marah lalu menampar mulutnya berulang-ulang hingga berdarah, ”siapa yang perintahkan kamu melakukannya, mana komandanmu?”. Dengan wajah masih bersimbah darah, dia menunjuk seorang berpangkat kolonel di sebelahnya. Aku membanting orang tersebut dan berjalan menuju si kolonel, ”hey, apa motifmu membubarkan para demonstran”, dengan suara terputus putus, kolonel itu menjawab, ”agar mereka tidak melempari paduka dengan hasil pertanian mereka yang telah membusuk ...”.
Busuk? Hasil pertanian mereka busuk ..? Aku kembali berjalan menuju rakyatku, lalu aku menaiki panser water canon dan dengan megaphone ditanganku, aku berkata pada semua rakyat yang sedang berdemonstrasi, ”kenapa kalian membenci aku, aku sangat mencintai kalian, kenapa kalian begitu membenci aku ...”. Semua menjadi hening, sunyi ... lalu terdengar suara seorang anak kecil kepada ibunya, ”mak, aku lapar ... makan mak”.
Aku tersentak, hatiku menangis, lalu aku berkata, ”apakah karena lapar ... apakah kalian kelaparan?”, kemudian seorang pemuda tanggung dengan badan kurus maju ke hadapan dan mulai berkata-kata dengan dibayangi moncong senapan serbu para militer kerajaan, lalu pemuda itu berkata, ”wahai raja, kami lapar ... kami dengan kerelaan hati mengganti minyak tanah dengan elpiji, dengan alasan minyak tanah sudah tidak disubsidi kerajaan, tapi nyatanya apa ... harga elpiji juga meroket, kami lapar paduka ... sangat lapar ...”. Jawaban si pemuda disambut teriakan demonstran lainnya dengan teriakan-teriakan lantang, teriakan yang sama, ”hidup rakyat, bebaskan penderitaan rakyat, hidup rakyat, bebaskan penderitaan rakyat”
Oh Tuhan, negeri apa yang sedang aku pimpin, aku kira ini negeri ibu pertiwi ternyata aku berada di negeri tempe ... Aku bergegas kembali menuju lapangan upacara, lalu aku berkata pada semua tertuduh korupsi, ”siapa menteri urusan minyak tanah dan gas elpiji? mana menteri perdagangan? maju ke hadapanku, sekarang”. Kemudian maju ke hadapanku dua orang paruh baya dengan kepala nyaris botak. Aku membentak menteri urusan minyak tanah dan elpiji, ”apa yang telah kamu lakukan? menipu rakyat? membohongi rakyat?”. Kemudian menteri urusan minyak tanah mengeluarkan kata-kata pembelaannya, ”ini adalah kesempatan emas tuanku, saat mereka mulai berbondong-bondong beralih pada elpiji untuk memasak, aku menaikkan harganya, semua agar kerajaan semakin kaya”.
Sungguh jawaban yang membuat aku semakin murka, aku melayangkan bogemku, telak ke arah hidung peseknya ... menteri itu jatuh tersungkur, lalu mengeluarkan rintihnya, ”ampun paduka, ampuni aku”. Aku mengeluarkan kalimat lantangku lainnya, ”apakah sakit? rakyatku kelaparan dan sakitnya lapar lebih dari sakit? kau telah memukul jutaan rakyatku, dan kamu masih minta diampuni?”. Tetap saja menteri urusan minyak tanah dan elpiji mengiba minta dikasihani, mataku tertuju pada pasukan pengamanan raja (paspamra), aku memanggil satu dari mereka dan aku mengambil senjata genggam yang ada di pinggangnya, aku kokang dan aku todongkan ke arah kepala menteri urusan minyak tanah dan elpiji, lalu aku berkata, ”pedihnya penderitaan rakyatku tidak akan bisa ditebus dengan darahmu yang kotor, aku menjatuhimu hukuman mati dan aku sendiri yang mengeksekusimu” ... DOOOR DOOOR DOOOR
Setelah mengeksekusi menteri urusan minyak tanah dan elpiji, aku merasa berdosa. Bukankah dia punya keluarga, punya anak dan istri ... ah, apa yang aku lakukan.
Kemudian aku mulai mendekati menteri perdagangan, ”hey, apa yang telah kamu lakukan dengan jabatanmu? kenapa harga kebutuhan pokok selalu naik dan naik? apa usahamu agar harga untuk rakyat bisa stabil?”. Dengan ketakutan, menteri perdagangan berupaya mengeluarkan kalimat terbaiknya dengan sesekali melirik teman menterinya yang telah menjadi mayat, ”aku membeli beras dan sembako dari kerajaan tetangga, dan kementrian kami mengambil selisih dari perdagangan ini, semua untuk kepentingan kerajaan tuanku, aku bersumpah semua untuk kepentingan kerajaan”. Aku coba mencerna kalimat yang meluncur dari bibirnya, lalu aku berkata, ”kenapa tidak membeli hasil pertanian dari rakyatku sendiri?”. Lalu menteri perdagangan menjawab, ”karena harga dari petani lebih mahal tuanku, dan kualitasnya jauh di bawah kualitas hasil pertanian dari kerajaan tetangga”. Mataku melotot, aku sungguh marah dengan jawaban asal bunyi dari seorang menteri kerajaanku. Aku mengambil senjata otomatis dari seorang paspamra dan menembakkannya ke langit ... treeettteeeteeeettt ... treeettteeeteeeettt ... treeettteeeteeeettt ... tembakan itu telah mengagetkan para tertuduh korupsi lainnya dan dengan serta merta, mereka kembali minta dikasihani, mengiba, meraung, sambil mencucurkan air mata, mereka semua berkata, ”ampuni kami ya raja, ampuni kami paduka”.
Dasar, mental tempe ... makan uang rakyat, korupsi harta kerajaan, tapi semua takut mati ... Aku mengarahkan moncong senjata otomatis tersebut ke wajah menteri perdagangan dan ... treeettteeeteeeettt ... Hari ’pertama’ aku menjadi raja, telah dua menteri yang aku renggut nyawanya ... ah, raja macam apa aku ...
Aku palingkan wajahku pada semua paspamra dan berkata, ”pastikan keduanya benar-benar telah mati, dan kuburkan mayatnya dengan layak”. Beberapa orang dari paspamra memeriksa kedua mayat itu dan tiba-tiba seorang pasukan mengambil senjata genggamnya dan menembakkan kepala dan jantung kedua mayat menteri tersebut berkali-kali sehingga tiada keraguan lagi bahwa mereka telah tewas ...
bersambung
Sunday, August 31, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Ingin berkomentar? cerita yang baik-baik saja, karena DIA suka dengan hal yang baik-baik. Siapa yang membuka aib, maka di akherat ALLAH akan membuka aibnya ...