“... Kamu kan tau, peraturan di pondok kita ini, semua santri di larang bawa handphone … kamu ini bandel yah, kenapa masih bawa handphone segala …”, Pak Nuruddin sedang marah-marah di ruang kantor setelah memergoki Rara menyimpan handphone. Rara selaku tertuduh hanya bisa tertunduk dengan sembari sesegukan karena menangis. Pak Nuruddin melanjutkan marahnya, “ayo, nangis yang kenceng, nanti saya beri tahu orang tuamu kalau kamu bawa HP …”, Rara yang sedari tadi menangis langsung tersentak, “jangan Pak, jangan dibilangin ke abi, bisa malu saya … jangan ya Pak, iya deh nggak apa-apa handpone saya disita, janji bulan depan nggak saya bawa lagi”. Ternyata Pak Nuruddin benar-benar marah, “siapa bilang handpone ini disita sampai akhir bulan? Akan saya sita sampai kamu lulus dari madrasah ini …”. Bagai disambar petir, jgeeer … Rara semakin menangis kencang dengan skenario yang ditetapkan oleh Pak Nuruddin atas handphonenya.
21.00, 5 hari sebelum Interogasi
“Pak, lagi ngapain neh ... Pak, TP aku dong, mau telpon abi, aku bosen di pondok, bolak-balik dimarahin sama ustadz-ustadz, aku mau sekolah di surabaya aja, pliiis ya Pak”, begitu sms Rara untuk ‘pajakin’ Pak Doel, sebenernya kebiasaan buruk, tetapi selalu dibiarkan oleh Pak Doel, dan selalu dikirimin pulsa dengan menggunakan layanan operator ‘setengah’ nasional (karena sebagian sahamnya adalah milik asing, tapi gak usah disebut ya nama negaranya, karena bikin sakit hati, luas negaranya lebih kurang hanya sebesar kota Surabaya, tapi bisa kuasai telekomunikasi nasional ...), kebetulan operator ini yang dipakai oleh sebagian besar anak pondok kami karena memiliki layanan untuk kirimin pulsa yaitu TP (transfer pulsa), walau terkadang disindir juga dengan bahasa kiasan, tapi ternyata ... belum sadar-sadar juga, biarin deh.
Yang sedih seperti Rara sebenarnya bukan satu atau dua orang santri, mungkin juga karena takut untuk laporan pada orang tua mereka, kondisi pondok yang minim fasilitas, makan dengan menu di bawah standar 4 sehat 5 sempurna, dan banyak lagi masalah. Tapi mau bagaimana lagi, SPP sengaja di-setting murah, tujuannya agar sekolah internasional yang dibuat oleh Pak Kyai benar-benar bisa dijangkau oleh masyarakat luas, hak untuk berkelas internasional bukan hanya untuk orang kaya dan berkantong tebal, tapi mereka yang memiliki isi kantong terbatas juga banyak yang cerdas dan harus segera di-create untuk go internasional, tapi kondisi minimalis pasti akan ditemui.
Kalau sedeng kampanye sih janji mereka adalah pendidikan murah, pendidikan gratis, jaminan kesehatan, obat murah, harga barang pokok terjangkau dan sebagainya, tapi mana nyatanya, mana buktinya? Setelah jadi orang yang di atas, kami dilupakan, sedih deh. Tapi, kami juga tidak bisa berharap terlalu banyak, uang memang selalu menggoda, manis banget rasanya, semoga kami bisa bertahan dengan hidup bersahaja (sah-sah saja), hidup dengan kesederhanaan, dan secukupnya.
Kesusahan Rara menjadi alasan paling mendasar sehingga dia ‘terpaksa’ membawa handphone ke pondok pesantren, tentu tujuannya adalah untuk memudahkan komunikasi, the other side, kadang juga dimanfaatkan untuk keperluan yang nggak penting seperti, kirimin sms iseng ke Pak Doel, ngaku-ngaku pengen kenalan, apalah macem-macem, tapi Pak Doel sih punya handphone yang full teknologi jadi tau banget kalo sumber sms berasal dari puncak gunung.
“pinjem HP-mu dong, aku mau telpon ke rumah, lagi BT pengen ngobrol dengen orang rumah ...”, kalimat seperti ini juga sering terdengar, karena rerata mereka hanya pegang simcard-nya doang, sedangkan HP-nya sedang disita, akhirnya berbagi HP juga merupakan budaya di pondok, khususnya di asrama putri. Padahal Pak Cecep sudah warning, “siapa yang tidak mengikuti aturan pondok, maka tidak ada keberkahan ilmu yang dia dapatkan di sini”, tapi alasan anak-anak pondok ada saja, “ini kasusnya darurat, kita gak bisa komunikasi, kalau ada yang pegang HP di asrama, maka akan menjadi perkara yang sangat penting khususnya bagi kelangsungan hidup kita”.
Terkadang HP juga dimanfaatkan untuk say hello pada pujaan hati, “apa kabar, lagi ngapain ...”, he ... he ... sms standar untuk memulai percakapan lebih panjang. Semoga ALLAH selalu menjaga kita semua dan senantiasa dalam ketaatan yang sempurna padaNya.
05.00, 4 hari sebelum Interogasi
Hari itu, dada Rara sakit sekali (penyakit bengeknya kumat), rasanya susah sekali menarik nafas, kalau sudah begini, pasti jadi kangen rumah, kangen abi, kangen umi, pokoknya semua yang ada di rumah jadi bikin kangen. Ditambah lagi kalau sedang sakit begini, lalu dibilang tidak sakit oleh para penanggung jawab pesantren, dibilang pura-pura, dibilang mengada-ada, rasanya mau nangis aja, tapi pasti kalau nangis sekalipun dianggap pura-pura ... haruskah nyawaku hilang dulu, baru mereka percaya kalau aku benar-benar sakit?
“Pak, mereka nggak percaya kalau aku sakit, aku pengen nangis aja”, begitu Rara saat bicara sambil sesegukan di telpon, tapi ditanggaapi dengan sekenanya oleh Pak Doel, “Rara sih bandel, jadinya begini ... Rara ngomong apa aja, sulit dipercaya, keseringan bandel sih”, di seberang sana, Rara semakin keras tangisnya, “koq ikut-ikutan nggak percaya sih kalo aku sakit, semua jahat”, ”Rara, dengerin ... untuk sementara coba sabar, jangan emosi dong, saya percaya banget kalo Rara sedeng sakit, kalau bisa semua itu dibicarakan biar semua temen-temenmu juga tau, tapi maksudnya bukan untuk cari pendukung, tapi supaya semua merasa lega, gak ada yang punya prasangka macem-macem, sabar ya cantik ...”.
Hari itu juga Rara izin gak masuk sekolah, dia hanya mengurung diri di dalam kamar asrama, tiduran, gak ngapa-ngapain, hanya istirahat saja (lagi bengek sih). Dalam susah hatinya, Rois telah datang untuk memberikan perhatian lebih, “Nya, Rara katanya sakit, sakit apaan?”, Rois tanyain keadaan Rara, lalu dijawab santai oleh Anya, “Iya, lagi sakit, trus mau apa, gitu doang, beliin apa, makanan, atau apa lah?”, Anya koq sempet-sempetnya mengambil peluang, lalu Rois membuatkan satu poci teh hangat untuk Rara, “Nya, kasih teh ini ke Rara, trus bilangin cepet sembuh Rara, bilangin dari aku ya ...”.
Anya bergegas menuju kamar sambil membawa satu poci teh hangat untuk Rara (pasti sudah diambil satu gelas), “Rara, ini teh anget dari Rois, salamnya cepet sembuh”, Rara sumringah, tapi mengingati wajah Rois, dada rasanya lebih sesak lagi, jadi pengen nagis aja. Tapi kali ini rasanya beda ... beda banget, ada rasa rindu yang beda, rindu yang lebih hangat, lebih mententramkan ... inikah rasa itu?
... sampai akhirnya, hari yang telah diatur olehNya terjadi juga, skenario untuk menata dan mempertegas aturan di pondok pesantren, khususnya tentang peraturan dilarang membawa handphone di pondok pesantren.
06.20, 3 hari sebelum Interogasi
Pak Nuruddin sedang sweeping, mendatangi kamar asrama satu per satu, persiapan upacara pagi. Saat itu kamar Rara lagi apes, pintu kamar sedang terbuka lebar, handphone teronggok di atas kasur ... tak bertuan. Pandangan Pak Nuruddin tertuju pada handphone tersebut, milik siapakah? Begitu yang terlintas di dalam benaknya, “dasar anak-anak bandel, dibilangin jangan bawa handphone eh masih ada juga yang umpetin handphone”. Kemudian Pak Nuruddin mengambil handphone tersebut dan menyimpannya dalam brankas penyimpanan barang sitaan.
Selesai upacara, Rara kebingungan ... “lho, handphoneku ke mana, tadi diletakkan di mana, koq ilang, handphoneku koq gak ada”, jungkir balik Rara nyariin handphone yang raib entah ke mana, kemudian Pak Nuruddin datang sambil berkata, “kamu cariin handphonemu, bener?”, Rara kebingungan, “em, anu Pak, eeemmm”, “Apaaa, bener itu handphonemu, sudah tau kan dilarang bawa handphone di pesantren kita, karena kamu bandel jadi sekarang handphonemu saya sita ...”, Rara kebingungan, “tapi Pak, maafin saya Pak, ...”, Pak Nuruddin mengabaikan semua kalimat yang meluncur dari mulut Rara dan nyelonong pergi menjauhi TKP penemuan ‘barang’ terlarang.
Kejadian pagi itu sungguh menyusahkan Rara, terbayang hari-hari sepi tanpa sms darinya, tanpa sms iseng ke Pak Basong, tanpa ‘bujuk rayu’ minta TP, dan oh ... koq bisa seceroboh ini ya ...
Hari itu Rara mbolos sekolah, Rara sedang ingin menangis di kamar, dadanya kembali sesak, mau telpon sudah gak bisa lagi, tangis Rara begitu menyesakkan, lama sekali dia mengurung diri di dalam kamarnya.
14.45, 2 hari sebelum Interogasi
Sabtu itu jadwal pulang kampung, saat pulang dan telah di dalam bison, Rara melihat Rois nggak ikut pulang ke Surabaya, kesedihan Rara bertambah, tumpuk-tumpuk seperti sandwich, big burger, atau apalah ... Merry coba tenangkan, “sudah jangan sedih masih banyak Rois lain di luar sana”, canda Merry membuat Rara bertambah kencang tangisnya, “duh, becanda aja lho ... sudah ah, jangan nangis lagi yah, cup ... cup ... cup, ajinomoto”. Rara masih sesegukan dalam dekapan manja Merry hingga bison injakkan ‘kakinya’ ke Surabaya
Malamnya, Rara telpon ke Pak Basong, “Pak, handphoneku disita, tadi ketahuan sama Pak Nuruddin”, sudah bisa ditebak apa jawaban dari Pak Doel, “sukurin, rasain ... bandel sih”, “trus Pak, Rois nggak pulang ke Surabaya, aku jadi sedih”, Pak Doel sedang merangkai kata yang paling sempurna untuk ngerjain murid badungnya yang satu ini, “Rara, kamu jangan ke-GR-an, memangnya Rois itu suka sama kamu, cewek cakep itu banyak, ngapain juga dia suka sama kamu”, sudah terbayang wajah sedih Rara yang sedang dikerjain Pak Basong, “Pak, koq jahat sih, aku kan lagi sedih, koq dikerjain bolak balik”, he ... he ... Rara sewot, memang itu tujuannya. “Pak, koq nggak mampir ke Pondok sih, lupa yah sama murid-muridnya”, Pak Doel ingin sekali mengubur semua kenangan jadi Pak guru, tapi harus mulai dari mana, “Rara, saya sibuk banget, gak ada waktu, lagian guru pengganti kalian kan sudah ada, jadi ngapain juga pake mampir ke Pondok segala, kalau urusan rancana gambar buat pondok, saya nyetornya ke rumah Pak Kyai aja ...jadi nggak perlu ke puncak gunung segala”. Rara langsung menutup telponnya, mungkin kecewa dengan jawaban yang alakadarnya dari Pak Doel.
09.15, 1 hari sebelum Interogasi
Rasanya cepat sekali liburan, beberapa jam lagi sudah harus balik lagi ke Pacet. Rara masih memendam rasa sedih di dalam dadanya, ingin rasanya nggak balik lagi ke madrasah, berbagai argumentasi dilontarkan kepada kedua orang tuanya, tapi jawabannya tetap tidak.
Sudah dicuekin masih aja ngotot telpon Pak Basong, “Pak, aku sudah nggak pengen lagi sekolah, paling juga dimarah-marahin sama ustadz-ustadz di sana”, Pak Doel jadi ikutan sebel, “Rara, kalo kamu nggak sekolah, kamu lebih mengecewakan lagi, sudah punya wajah standar, bodoh pula karena gak mau sekolah, siapa yang suka”, Rara hanya terdiam, lalu Pak Doel melanjutkan ceritanya, “trus kalo kamu nggak sekolah di pondok, emangnya abimu setuju kamu pindah sekolah, pasti nggak setuju ... Rara, saya ingetin yah, di sekolah lain kamu nggak bisa nemuin cowok guoblok seperti Rois yang nekat suka sama kamu, di luar sana siapa juga mau sama cewek standar seperti kamu”, Rara mulai terbakar emosinya, “enak aja bilangin aku standar, aku kan di bawah standar”, ha... ha... merekapun tertawa bersama, mantan guru dan mantan muridnya.
14.50, hari Interogasi
Pak Nuruddin memanggil Rara, Rara langsung dag dig dug, di dalam ruang kantor, Rara hanya bisa tertunduk, terbayang sudah amuk amarah Pak Nur padanya karena kepergo bawa benda terlarang.
Setelah interogasi selesai, tiada henti-hentinya Rara menangis, menangis dan menangis ... uggh, kenapa kemaren bisa ceroboh begitu, sekarang mau bagaimana lagi, handphone jelekku ... bye bye, selamat ketemu lagi saat kelulusanku, semoga saat itu kamu masih sehat wal afiat, dan basi bisa fungsi seperti sekarang.
Pak Doel bercerita tentang percakapan Rasulullah SAW dan para sahabat tentang perumpamaan mangkuk yang cantik, cerita ini begitu menggugah, menyentuh hati dan hanya sedikit dari ummat ini yang peduli dengan perkara yang akan diceritakan dalam kisah ini, bahkan anak jebolan pesantren sekalipun mungkin juga tidak peduli, berikut kisahnya ...
Rasulullah SAW, dengan sahabat-sahabatnya Abakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., dan 'Ali r.a., bertamu ke rumah Ali r.a. Di rumah Ali r.a. istrinya Sayidatina Fathimah r.ha. putri Rasulullah SAW menghidangkan untuk mereka madu yang diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan sehelai rambut terikut di dalam mangkuk itu. Baginda Rasulullah SAW kemudian meminta kesemua sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga benda tersebut (Mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut).
Abubakar r.a. berkata, "iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut".
Umar r.a. berkata, "kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Utsman r.a. berkata, "ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber'amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
'Ali r.a. berkata, "tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumanya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Fatimah r.ha.berkata, "seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Rasulullah SAW berkata, "seorang yang mendapat taufiq untuk ber'amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber'amal dengan 'amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat 'amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Malaikat Jibril AS berkata, "menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Allah SWT berfirman, " Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Hidup mulia di dunia ini memang sulit, karena standar kita biasanya adalah harta benda dan kekayaan, bahkan orang Islam sekalipun. Kalau kita lihat ada seseorang yang masih muda, punya rumah, kendaraan mewah, dan kemewahan lainnya telah dimiliki, maka mereka para orang tua bersepakat bahwa anaknya telah sukses, dan hal tersebut juga disepakati oleh para tetangga mereka. Tapi jika anak mereka tinggalkan sholat 5 waktu, lupa tunaikan zakat, lalai dalam dzikir, maka mereka tidak pernah peduli, karena itulah iman, yakin dengan yang ghoib, sedangkan semua perkara dzohir selalu menipu.
Jika memang harta benda ini meninggikan derajat, dan menambah kemuliaan, maka seharusnya seluruh para Nabi merupakan orang-orang kaya, tetapi yang kita temui, hampir seluruh Nabi hidup dengan sederhana dan bersahaja, tidak dalam tumpukan harta benda. Harta boleh saja ada di dalam genggaman tapi tidak di dalam hati.
Friday, April 4, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Ingin berkomentar? cerita yang baik-baik saja, karena DIA suka dengan hal yang baik-baik. Siapa yang membuka aib, maka di akherat ALLAH akan membuka aibnya ...